Oleh: Pdt. Dr. Djoys Anneke Rantung, M.Th

Penginjilan di tanah Minahasa telah dimulai sejak abad 16 oleh orang-orang Portugis. Ketika ada rencana dari Sultan Hairun untuk menaklukan daerah Sulawesi utara, orang-orang Portugis setelah mengetahui rencana tersebut, mereka  mendahului Sultan dengan mengadakan ekspedisi ke Sulawesi. Dalam perjalanan mereka, juga ikut serta seorang misionaris yaitu Pater Magelhaes. Pada tahun 1563 mereka tiba di Manado tua. Pater Magelhaes memanfaatkan waktu selama dua minggu untuk memberikan pengajaran kepada penduduk yang ada di situ mengenai pokok-pokok iman agama Kristen yang dalam pengajaran tersebut disesuaikan dengan kemampuan sumber daya yang dimiliki oleh penduduk. Ada sekitar 1500 orang termasuk raja dibaptis. Peristiwa ini sering dikatakan sebagai permulaan dari gereja Kristen yang ada di Minahasa dan Sangir-talaud.

Setelah orang-orang Portugis, dalam perkembangan misi berikutnya sejak abad 17, telah ada begitu banyak pendeta protestan dari Belanda yang datang ke Minahasa dalam rangka pelayanan mereka bagi pegawai-pegawai VOC. Dengan masuknya VOC di tanah Minahasa membuat pekerjaan misi yang dilakukan oleh misionaris katolik tidak lagi leluasa sehingga sebagian besar penduduk berpindah menjadi Protestan. Para misionaris katolik yang ada di Minahasa diusir karena dianggap sebagai sebagai mata-mata Portugis. Pada 1663, Ds. Burun datang ke Minahasa dan menjadi perintis penginjilan di masa VOC dan setelahnya ada begitu banyak yang datang seperti Ds. Isaacus Huisman dan Ds. Fransiscus Dionisius yang meninggal pada tahun 1674. Setelah itu datang Pendeta Montanus, Ds. G. Peregrinus. Abad 18, secara berurutan datang Ds. Arnoldus Brants, Ds. George Hendric Werndly, Ds. Rousselet dan Ruben Adams.

Penginjilan yang dilakukan oleh para pendeta VOC ini tidak berlangsung secara berkesinambungan hal ini disebabkan karena Minahasa hanya menjadi tempat persinggahan dari para pendeta VOC. Penginjilan yang berkesinambungan dimulai oleh Johann F. Riedel dan Johann G. Schwars pada abad 19 yang datang mengawali gelombang pertama datangnya penginjilan yang dipelopor oleh NZG. Kedatangan para penginjil dari NZG di Minahasa didapat dibagi ke dalam empat gelombang yaitu :

  1. Riedel di Tondano dan Schwarz di Langowan
  2. 1836-1838. Hermann di Amurang dan Matern di Tomohon
  3. 1848-1849. Haartig di Kema, Bossert di Tanawangko dan Ulfers di Kumelembuai
  4. 1861-1864. J. A. T. Schwarz di Sonder dan sekitarnya.

Gereja di Minahasa pada tahun 1800-1880
Penginjilan Protestan di Minahasa dipelopori oleh Joseph Kam yang menjadi pembuka jalan bagi penginjilan bagi para zending. Joseph Kam merupakan pendeta satu-satunya gereja Protestan yang ada di Indonesia bagian Timur karenanya ia juga memiliki tanggung jawab terhadap jemaat-jemaat yang ada di Sulawesi Utara. Pada tahun 1817, Josep Kam mengunjungi daerah Sulawesi Utara dan atas usahanya ia mendatangkan seorang guru dari Ambon serta meminta kepada NZG untuk mengirimkan utusan yang baru. Pada tahun 1822, ada dua zending yang dikirimkan ke Minahasa yang ditempatkan di dua jemaat yang sudah ada namum mereka mengeluhkan keadaan yang mereka alami karena ditentang oleh anggota-anggota jemaat yang ada dan meninggal sebelum dapat mengusahakan sesuatu yang berarti.

Setelah itu, pemerintah mengirimkan seorang pejabat pendeta di Manado pada tahun 1827-1839 yaitu Hellendoorn. Dalam menjalankan tugasnya, Hellendoorn dapat dikatakan sebagai perintis usaha pekabaran injil yang sesungguhnya karena dalam pelayanannya ia mendirikan sejumlah sekolah, masuk ke daerah-daerah pedalaman, dan secara terus menerus meminta NZG untuk mengirimkan utusan-utusan zending. Atas permintaannya tersebut maka pada tahun 1831 setelah mendapatkan bimbingan dari Joseph Kam di Ambon maka NZG mengirimkan Riedel dan Schwarz ke Minahasa. Riedel dan Schwarz tiba di Manado pada tanggal 12 Juni 1831. Tanggal ini yang kemudian dijadikan sebagai hari peringatan Pekabaran Injil dan Pendidikan Kristen di Minahasa.

Johann F. Riedel
Sekalipun tiba pada tanggal 12 Juni 1831 di Manado tetapi Riedel nanti tiba dan menetap di Tondano pada 14 Oktober 1831. Di Tondano pada waktu Riedel datang telah ada sekitar 100 orang yang mengenal Kristen. Kegiatan penginjilan yang dilakukan oleh Riedel dimulai dengan memberi perhatian pada sekolah-sekolah yang sudah ada. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mengajarkan keteraturan, kebersihan dan kesopanan bagi orang-orang yang ada di Tondano yang diajarkannya melalui pengajaran agama Kristen. Ia juga mengadakan pendekatan terhadap orang-orang kampung. Ia menjadikan rumahnya sebagai tempat untuk bertemu dengan mereka dan bercakap-cakap tentang kehidupan sehari-hari dan juga mendakan perkunjungan ke keluarga-keluarga yang ada.

Pendekatan yang dilakukan Riedel dengan keramahannya kepada penduduk setempat membuat dia akrab dengan mereka sehingga dengan keakraban itu maka barulah ia mulai memberikan pengajaran agama Kristen kepada mereka. Pendekatan dan Pengajaran yang dilakukan oleh Riedel berdampak positif karena semakin banyaknya orang yang datang untuk mengikuti kebaktian yang diselenggarakan dirumahnya. Selain itu, di bidang pendidikan semakin banyak anak-anak yang rajin untuk kesekolah. Kebaktian mendapat perhatian yang sangat besar dari penduduk setempat karena selain kebaktian yang dilaksanakan pada pagi hari, sore harinya juga dilaksanakan ibadah yang dikenal dengan Salinan karenanya Riedel memanfaatkan kesempatan ini dengan menyelenggarakan kelompok belajar Alkitab pada hari senin dan kamis.

Selain itu pendidikan yang dilakukan pun semakin berjalan dengan baik. Pengajararan-pengajaran yang dilakukan oleh Riedel membuat banyak orang terdorong untuk memberi diri untuk dibaptis. Sebelum dibaptis mereka harus terlebih dahulu mengikuti pelajaran khusus yang dilakukan setiap sore yang di dalamnya Riedel memberikan bimbingan yang tujuannya untuk mengarahkan seseorang kepada Tuhan. Dalam setiap pengajaran-pengajaran yang dilakukan oleh Riedel tentunya tidak bisa dilepaskan dari warna atau corak pietisme.

JOHAN F. RIEDEL DAN JOHANN G. SCHWARZ

Pelayanan yang dilakukan oleh Riedel selama hampir 30 tahun  tentu membuahkan hasil yang sangat memuaskan sekalipun dia mendapat teguran dari pihak NZG karena menganggap sangat mudah menerima orang menjadi Kristen namun yang dilakukan oleh Riedel tentu dapat dikatakan sebagai suatu prestasi yang membangggakan karena selama pelayanannya dia telah membaptis 9341 orang dan 3851 anggota sidi jemaat. Ditambah dengan 665 orang yang dibaptis pada tahun 1849. Pada 12 Oktober 1860, Riedel meninggal dunia dan dimakamkan di Tondano.

Johann G. Schwarz
Sama halnya dengan Riedel, ketika ditugaskan oleh NZG untuk bertugas di Minahasa yang memiliki kepercayaan suku maka untuk melaksanakan tugas ini mereka terlebih dahulu belajar mengenai kebudayaan dan bahasa Minahasa. Setelah tiba di Minahasa, Schwarz menetap di kakas yang kemudian berpindah ke Langowan. Dalam pekerjaan penginjilannya, pendekatan yang ramah terhadap penduduk setempat membuat dirinya dengan sangat mudah diterima pada waktu itu. Selain itu dalam pelayanannya, Schwarz menggunakan bahasa atau kata-kata yang tentunya mudah dimengerti oleh penduduk setempat dan tanpa menggunakan suatu system yang baku.

Dalam perkembangannya kemudian, barulah secara perlahan-lahan ia mulai menyusun buku yang berisi tentang pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan pengakuan iman Kristen. Schwarz dalam melakukan pendidikan ia memakai sistem anak angkat dan murid. Sehingga dengan cara ini dia dapat memperkenalkan peradaban, pengetahuan dan penginjilan dengan cakupan yang lebih luas. Pembangunan gedung sekolah mulai dilakukan oleh Schwarz setelah beberapa tahun ia melakukan pelayanan dengannya penginjilan dapat dilakukan dari dalam sekolah sehingga melalui para peserta didik yang ada menjadi alat bagi pekabaran injil terhadap para orang tua mereka sehingga mereka menjadi Kristen.

Schwarz sangat mengutamakan pendidikan bagi para orang-orang muda sehingga dengannya mereka menjadi penggerak utama dalam ladang pekabaran injil. Wilayah pelayanan Schwarz dapat dikatakan lebih luas dari Riedel yang hanya melayani di Tondano. Selain melakukan pekabaran injil di Langowan, ia juga melakukan penginjilan di Kakas di mana ia juga memberikan pendidikan dan pelatihan kerja pertukangan bagi penduduk yang ada serta memberi perhatian terhadap kesehatan. Bukan hanya Kakas, ia juga melakukan penginjilan ke Ratahan dan membangun sekolah disana. Ia gagal membangun sekolah di daerah Belang karena daerah itu merupakan daerah yang dikuasai oleh Islam. Pelayanan penginjilan yang dilakukan oleh Schwarz juga dilakukan di Tompaso, Kawangkoan bahkan hingga ke Manado, Kema dan Likupang.

Dalam penginjilan yang dilakukan oleh Schwarz berkaitan jumlah orang yang memberi diri dibaptis memang tidak sama dengan Riedel pada 10 tahun pertama pekerjaan mereka. Dalam usaha penginjilannya, ia nanti membaptis setelah tiga tahun melayani itupun hanya empat orang, Sembilan tahun kemudian 300 orang lebih, dua belas tahun kemudian 1800 orang. Perbedaan jumlah ini memang sangat ditentukan oleh pola pelayanan yang dilakukan oleh keduanya. Schwarz berbeda dengan Riedel yang sangat dipengaruhi oleh Pietisme karena dia menerapkan system Presbiterial dalam pelayanannya. Tiga syarat umum yang diberlakukan bagi orang yang ingin dibaptis yaitu : Pertama, Tidak terlalu tua dan harus belajar membaca. Kedua, Harus berjanji untuk menyekolahkan anaknya. Ketiga, Pernikahan harus dilakukan melalui pemberkatan di gereja.

Namun demikian dalam hal mendirikan jemaat dan sekolah termasuk luasnya wilayah pelayanan memang Schwarz lebih unggul. Schwarz selain melakukan penginjilan telah berhasil membangun suatu peradaban yang baik bagi orang-orang Langowan dan sekitarnya. Ia meninggal dunia di Langowan pada tanggal 1 Februari 1859.

Keberhasilan penginjilan yang dilakukan oleh Riedel dan Schwarz tentu tidak bisa dipisahkan dari pemberian diri dari penduduk setempat yang turut membantu pekerjaan mereka. Para pemuda yang tinggal dan dididik oleh para zendeling turut berperan dalam usaha penginjilan bagi sesama orang Minahasa. Dalam wujud pelayanan misi mereka yang paling menonjol dibalik keberhasilan misi yang di kerjakan, mereka mengajarkan keterampilan teknik pertukangan, pertanian, kesehatan, pendidikan dan membangun peradaban yang baik yang ada di tanah Minahasa.

Implikasi Bagi GMIM
Momentum memperingati ke-190 tahun Pekabaran Injil dan Pendidikan Kristen di tanah Minahasa, GMIM sudah menikmati Injil ditabur, bertumbuh dan berbuah di tanah Minahasa dan kini kita telah sementara menuai hasilnya, sehingga tidaklah mungkin Tou Minahasa melupakan peran Roh Kudus yang mendatangkan para Misionaris di tanah Minahasa. Ada ungkapan bijak berakta : bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarahnya dan tidak melupakan pahlawannya. Demikian juga Gereja yang besar adalah Gereja yang tidak melupakan sejarahnya serta para Penginjilnya.

Harus diakui, bahwa GMIM sekarang ini sedang menuai buah hasil Pekabaran Injil dan Pendidikan Kristen yang ditabur, ditanam, diusahakan tanpa kenal lelah oleh para Pekabar Injil yang berani meninggalkan “zona nyaman” di negaranya. Mereka tidak hanya telah meninggalkan negaranya dengan segala kemakmuran dan kemewahannya datang di tanah Minahasa, tetapi sampai mati.  Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG) sebagai lembaga Misi dari Belanda pada tahun 1829 mengirim dua  orang  tenaga Misi datang di tanah Minahasa, Johann F. Riedel dan Johann Gottlib Schwarz, tiba di Manado 12 Juni 1831. Di hari ulang tahun ke-190 Pekabaran Injil dan Pendidikan Kristen di tahun 2021 ini, sangat penting untuk mengingat para tenaga Misi, seperti:

  1. Johann F. Riedel: Pekabaran Injil di Tondano, mendirikan sekolah di Katinggolan. Meninggal di Tondano 12 Oktober 1860.
  2. Johann Gottlib Schwarz: Pekabaran Injil di Kema dan menetap di Langowan, meninngal 1 Februari 1859 di Langowan.
  3. Hellendoorn, dikenal sebagai peletak dasar Misi di Minahasa dan perintis pendidikan Kristen. Meninggal 1839 di Manado.
  4. Nikolaas Philip Wilken: Pekabaran Injil dan Pendidikan di Tomohon. Meninggal 22 Februari 1877 dan dikubur di Talete.
  5. Karl Traggott Hermann. 1 Januari 1837 memulai Pekabaran Injil di Amurang (Minsel) dan meninggal di Amurang.
  6. Van der Cappelen. Pekabaran Injil di Amurang dan Tareran 1851. Tahun 1856 pingsan di tengah jemaat dan meninggal, dikubur di Rumoong Atas.
  7. Ulfres 1849 di Ranoyapo dan Kumelembuai Motoling. Meninggal dan dikubur di Kumelembui.

Banyak lagi yang dapat temukan dalam sejarah pelayanan GMIM. Buah dari pelayanan Pekabaran Injil dan Pendidikan Kristen yang telah membawa GMIM memprogram yang dikenal dengan Pekabaran Injil ke dalam dan  keluar. Itulah sebabnya hingga sekarang dapat dilihat bahwa GMIM terus mengirim Tenaga Utusan Gereja (TUG) ke beberapa sinode/gereja-gereja di Indonesia dan luar negeri. Pekabaran Injil dan Pendidikan Kristen terus mengingatkan Tou Minahasa untuk berkerja menghasilkan buah-buah di segala bidang termasuk dalam ladang pelayanan misi yang ada ditengah kemajemukan masayarakat yang ada.

Dalam pekabaran injil, pemuliaan akan Tuhan menjadi alasan utama mengapa Riedel dan Schwarz memberi diri keluar dari kaumnya dan berintegrasi dengan orang-orang Minahasa. Semangat untuk mengantarkan orang lain mengenal dan memahami kerja penebusan Kristus menjadi motivasi utama dalam diri para zendeling Riedel dan Schwarz. Dengan kehadiran para misionaris (Riedel dan Schwarz) memberi hasil yang cukup signifikan dalam peradaban hidup di masyarakat Minahasa yang dapat direfleksikan hingga saat ini. Aspek spiritualitas terbentuk, serta sumberdaya manusia menjadi hidup. Inilah tanda modernitas yang dialami oleh masyarakat Minahasa lewat pelayanan misi yang dikerjakan oleh mereka berdua.

Dari aspek pelayanan misi yang mereka kerjakan para misionaris, GMIM mengambil patokan untuk mengadakan transformasi dalam rekonsiliasi untuk mengubah eklesiologi GMIM  Sesuai  keputusan  SMSI ke-78 ini,  GMIM menjadi gereja lokal, nasional dan global. Gereja yang bertransformasi adalah gereja yang berani mengubah dan berubah dalam kontek kebenaran Firman Allah. Yesus memanggil, mendirikan, menghadirkan dan mengutus gereja untuk memuridkan bangsa – bangsa, mengajar orang di manapun untuk mentaati dan melakukan segala yang Ia perintahkan.

Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) adalah persekutuan orang–orang yang memiliki berbagai latar belakang baik suku, etnis, strata sosial, ekonomi, bahasa, pendidikan dll, yang ada baik lokal, nasional dan global (seluruh dunia). Hal penting yang mesti diperhatikan adalah bagaimana persekutuan itu menjadi alat dan kawan sekerja Allah (1 Kor 3 : 9) secara fungsional dan transformatif dalam mewujudkan dan atau menghadirkan tanda – tanda kerajan Allah di dunia ini.

Semangat perubahan dan misi untuk terus membaharui dan mentransformasi sesungguhnya ada pada semua agama termasuk gereja di dalamya Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM). Semangat dan misi tersebut menunjukan adanya sebuah langkah maju dari kondisi, keadaan atau sistem sebelumnya. Dampak dari sebuah transformasi selalu ada karena itu keberanian amatlah penting. Akan tetapi keberanian untuk melangkah dan bertindak mesti ada pada visi dan misi Allah bagi dunia di dalamnya gereja. Agama adalah sebuah budaya yang menjadi wadah spiritual yang di dalamnya berhimpun pemeluk – pemeluknya untuk melakukan bakti (ibadah) yang benar kepada Allah. Gereja yang adalah milik Tuhan diutus ke dalam dunia (1 Pet 2 : 9 – 10), diperlengkapi dengan kuasa Roh Kudus (Kis 2 : 1 – 4) dan diperintahkan untuk melakukan kehendak Allah yaitu menghadirkan tanda – tanda kerajaan Allah (damai sejahtera) di dalam dunia.

Gereja dalam artian personal berfungsi sebagai pelaku yang baik dari tugas – tugas gereja sebagai amanat agung Allah. Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) merupakan denominasi terbesar di Propensi Sulawesi Utara dengan jumlah jemaat 951 (data tahun 2017) dengan rincian 934 jemaat yang ada di tanah Minahasa dan 17 jemaat yang ada di luar tanah Minahasa (dalam dan luar negeri), dan memiliki 795,809 jiwa, belum termasuk 17 jemaat di luar tanah Minahasa (data sensus tahun 2017). Dalam Sidang Majelis Sinode ke 79 tahun 2018 di Grand Kawanua Convention Center Manado, Ketua BPMS periode 2014 – 2018 Pdt. Dr. H.W.B. Sumakul, Ph.D mengtengahkan asumsi bahwa sepertinya secara kuantitas jemaat GMIM belum bertambah atau tidak ada pertumbuhan yang signifikan. Landasan asumsi itu adalah bahwa tahun–tahun sebelumnya anggota GMIM sudah mencapai 800 ribu jiwa.

Dengan tampilan angka tersebut berarti GMIM mengalami defisit kuantitas anggota jemaat sebanyak 4.991 jiwa. Mengapa anggota gereja tidak bertambah tetapi sebaliknya berkurang. Menyangkut perluasan pelayanan dengan mendirikan jemaat – jemaat baru di luar tanah Minahasa dalam hal ini di dalam dan luar Negeri sebagai wujud dari pada transformasi “eklesiologi” GMIM dari yang sebelumnya sebagai gereja lokal kini menjadi gereja Nasional dan Global (Global Church and National Church). Berbagai tanggapan dan reaksi baik positif maupun negatif bermunculan.

Inilah buah dari hasil pekabaran injil yang menghentarkan gereja untuk terus membaharui diri dala  setiap keterpanggilan untuk selalu bersaksi,bersekutu dan melayani. GMIM sebagai institusi sudah melangkah melakukan transformasi eklesiologi dari gereja lokal menjadi nasional dan global. Ini adalah sebuah langkah dan gerak maju gereja di tengah zaman yang sangat cepat perubahannya.

 

Penulis, Ketua Wilayah GMIM Jabodetabek Bandung, Dosen dan Kaprodi Magister Pendidikan Agama Kristen UKI, dan Dosen MPK Agama Kristen UI.

 

Daftar Pustaka:

  1. Van den End. Ragi Carita 1. ( Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2011) 80
  2. Ruddy N. Assa. Ziarah Injil di Tanah Minahasa. (Kakas : Yayasan Militia Christy, 2018) 15-19
  3. F. Parengkuan, M.Th dalam buku Menggali Harta Terpendam Bagian 1 (Tomohon : Panitia Perayaan HUT ke 70 GMIM Bersinode, 2004) 8
  4. Van den End. Ragi Carita 1. 169-171
  5. F. Parengkuan, M.Th. 8-11
  6. Rudy N. Assa. Ziarah Injil di Tanah Minahasa. 56-57
  7. Rudy N. Assa. Ziarah Injil di Tanah Minahasa. 58-63
  8. Pengakuan Iman GMIM, https://www.gmim.or.id/pengakuan-iman-gmim-panjang/bab-iv-gereja/ diakses pada Selasa, 15 Juni 2021 Pukul 11.09 WITA.
  9. Bob Moffitt & Karla Tesch, Transformasi Gereja Lokal dan Masyarakat, (Jakarta : YKBK, 2016), 157
  10. Badan Pekerja Majelis Sinode GMIM, Dokumen Sidang Majelis Sinode ke 79 di Grand Kawanua – Manado, tahum 2018
  11. Ramli Sarimbangun, “Transformasi GMIM dan Rekonsiliasi ‘Suatu Kajian Teologi-Sosiologi Terhadap Penyelenggaraan Pelayanan GMIM Selaku Institusi” Educatio Christi 1, no.2 (2020): 175-212

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here