Oleh: Jannus TH Siahaan

Terlepas secara teknis bahwa Inggris di saat itu ingin melakukan pembalasan atas nyawa seorang komandannya yang menjadi korban, Aubertin Walter Sothern Mallaby,  keberanian pasukan Bung Tomo dan rakyat sipil Surabaya dalam menghadapi barisan demi barisan pasukan berperlengkapan militer kelas satu di eranya,  menggambarkan bahwa Indonesia kala itu memang telah diperlengkapi secara utuh dengan kesadaran penuh atas identitas nasional yang berbeda dengan identitas kolonial yang telah disematkan Eropa kepada Indonesia.

Oleh karena itu,  peristiwa 10 November adalah juga penampakan semangat nasionalisme Indonesia dalam bentuk yang sangat nyata dan keras, tanpa bisa ditawar-tawar. Rasa nasionalisme yang sudah sejak dua dekade ke belakang terbentuk,  terutama sejak Sumpah Pemuda, bertemu momen pembuktian di Surabaya, di mana nyawa dengan ikhlas, penuh cinta, dan penuh keberserahan religius, untuk siap sedia dijadikan benteng dalam mempertahankan kemerdekaan dan menjadi bagian penting di dalam bangunan nasionalisme Indonesia.

Rasa nasionalisme tersebut memberikan gambaran dan pembatas yang bagi rakyat Indonesia tentang siapa penjajah dan siapa yang dijajah, siapa kolonialis dan siapa pihak tertindas, dan siapa yang layak pergi angkat kaki dari tanah Ibu Pertiwi dan siapa yang sejatinya berhak menentukan nasib bangsa Indonesia ke depannya, yakni “bukan Belanda, bukan Inggris, dan bukan sekutu, tapi rakyat Indonesia.”

Karena itu pula, sangat tepat apa yang ditulis oleh Craig Calhoun dalam bukunya “Nationalism” yang terbit tahun 1997 lalu bahwa “Nationalism has emotional power partly because it helps to make us who we are, because it inspires artists and composers because it gives us a link with history (and thus with immortality)”. Nasionalisme semestinya memang menyadarkan kita tentang siapa diri kita, identitas kebangsaan kita,  dan mengaitkan kita dengan sejarah bangsa sendiri,  yang terlepas dari kolonialisme dan imprealisme.

Secara spatial geografis, peristiwa 10 November hanya terjadi pada satu titik daerah di tengah luasnya wilayah teritorial Indonesia yang disepakati oleh para pendiri bangsa Indonesia kala itu. Tapi gaungnya kemudian menyebar ke seluruh tanah air, dirasakan oleh hampir seluruh rakyat Indonesia,  dan disadari bahwa meskipun peristiwa tersebut tidak terjadi di daerah di mana rakyat Indonesia lainnya tinggal,  rasanya seperti terjadi di daerah sendiri.

Dengan kata lain, rakyat Indonesia di luar Surabaya juga merasakan bahwa serangan tersebut juga seperti serangan yang ditujukan kepada rakyat Indonesia lainnya,  meskipun boleh jadi sebagian besar rakyat Indonesia tak mengetahui secara pasti dibelahan Indonesia mana kota Surabaya berada. Tapi,  rasa solidaritas satu bangsa membuat nyaris semua rakyat Indonesia merasakan apa yang dirasakan oleh pejuang di Surabaya. Karena itulah Benedict Anderson mengistilahkan keajaiban nasionalisme tersebut dengan istilah “The Imagined Communities”.

Ben menulis,  “In an anthropological spirit, then, I propose the following definition of the nation: it is an imagined political community – and imagined as both inherently limited and sovereign. It is imagined because the members of even the smallest nation will never know most of their fellow-members, meet them, or even hear of them, yet in the minds of each lives the image of their communion.” Orang Nias dan Papua belum tentu bisa berbahasa Indonesia dan tak pernah menginjakkan kaki di Surabaya waktu itu, tapi mereka bersatu atas nama bangsa Indonesia (imagined community).

Ya, memang begitulah yang terjadi. Rakyat Indonesia,  yang tersebar dari  Sabang sampai Merauke, berkemungkinan besar tidak saling kenal satu sama lain, bahkan kurang memahami budaya, sosial, dan fakta ekonomi di daerah lain di luar daerahnya, justru dengan mantap menyatakan solidaritas dan dukungan penuh pada perjuangan pahlawan-pahlawan bangsa di Surabaya, hanya bermodalkan “imaginasi kuat” bahwa Surabaya adalah bagian dari Indonesia,  darah daging ibu pertiwi,  yang harus dibela dan diperjuangkan layaknya membela dan memperjuangkan diri sendiri.

Dan tak salah, Ben Anderson menyebutnya sebagai “Imagined Communities”,  karena memang begitulah yang terjadi.  Peritiwa Surabaya, satu lokalitas di antara lokalitas geografis lainnya di Indonesia, satu peristiwa di antara banyak peristiwa yang terjadi di nusantara, kemudian diterima sebagai simbol perjuangan kebangsaan untuk seluruh Indonesia dan diakui secara nasional sebagai “hari pahlawan nasional.” Peristiwa tersebut diperingati dari tahun ke tahun,  dikisahkan di setiap sekolah, dan tak sedikitpun keraguan kita atasnya hingga hari ini.

Namun, seiring waktu berlalu,  rezim silih berganti, ekonomi bergerak naik dan turun,  sosial budaya berdinamika, hari pahlawan pun mulai diperlakukan layaknya rutinitas biasa yang di sana sini terlihat mulai kehilangan spiritnya. Rasa solidaritas dan saling memiliki mulai menipis, bahkan boleh jadi tersisa setipis plastik transparan. Para elit politik berbagi kepentingan dengan sesama elit, para konglomerat dan pengusaha berbagi untung dengan sesama mereka, sembari terus mencari cara mengakali kekayaan negara, tanpa peduli pada rakyat banyak.

Seiring dengan itu, generasi muda mulai menjauh dari identitas nasionalisnya, berpadu padan dengan budaya global tanpa dibekali kesadaran historis yang mendalam dan tanpa dilapisi kebanggaan yang tebal atas kebangsaan Indonesia. Dan dari perspektif politik, para generasi muda terserap nyaris secara total ke dalam tatanan generasi tua yang oligarkis dan elitis, tanpa mampu membela idealitas demokrasi yang telah diamanatkan secara gamblang di dalam konstitusi nasional. Padahal, Indonesia tak pernah kehilangan generasi muda. Tapi sayangnya,  sebagian generasi muda kita justru mulai kehilangan Indonesia.

Imaginasi atas kebersamaan di atas keberagaman Indonesia mulai terkikis, berganti kepentingan elitis dari jejaring oligarki yang menyamarkan keuntungan demi keuntungan yang mereka raup atas nama kepentingan bangsa dan negara.  Kita mulai gagap berkomunikasi satu sama lain, lalu digantikan dengan kompetisi demokratis salah kaprah di mana para elit saling berhitung angka. Mereka lupa, mereka telah merendahkan rakyat hanya ke dalam angka-angka statistik lembaga survey. Kebersamaan tak bisa digantikan dengan suara siapa yang terbanyak,  tapi kebersamaan adalah upaya komunikasi antara sesama elemen bangsa.  Demokrasi tidak melulu soal suara terbanyak,  tidak melulu soal siapa yang paling banyak pendukungnya,  karena pendukung bisa direkayasa dengan kelimpahan dana.

Kebersamaan adalah upaya saling merasakan dan mengupayakan.  Tak masalah suaranya parau dan terdengar sedikit saja, tapi suara kecil itu pun adalah bagian dari Indonesia, yang hak dan kepentingannya perlu dijaga dan diperjuangkan. Apalagi suara besar dari rakyat banyak.  Boleh jadi tak mendapat tempat lagi di dalam ruang publik karena ruang publik sudah dikavling-kavling secara oligarkis,  tapi suara rakyat adalah suara yang menggaungkan nasionalisme yang telah melepaskan Indonesia dari penjajah, suara yang diperjuangkan oleh para pendiri bangsa untuk tetap tertulis di dalam konstitusi kita.

Karena itu, hari pahlawan kali ini semestinya adalah hari untuk menegaskan kembali rasa nasionalisme kita agar kita sebagai sesama anak bangsa bisa saling merasakan, saling berbagi perasaan, dan saling berbicara dengan kesadaran historis, sebagaimana rakyat Indonesia berbagi perasaan dan kesadaran dengan pejuang-pejuang yang gugur di Surabaya tanggal 10 November 1945. Dengan kata lain,  hari pahlawan kali ini haruslah menjadi ajang penguatan kembali karakter bangsa.  Karena, proyek pembangunan karakter bangsa adalah proyek yg tak pernah selesai. Kemerdekaan atau lengsernya Orde Baru bukanlah akhir dari proyek pembangunan karakter bangsa, tapi awal pembangunan karakter bangsa yang masih akan bertemu dengan jalan-jalan yang sulit ke depannya.

 

Penulis, Doktor Sosiologi

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here