KABAROIKOS.com-Dikutip CNN Indonesia baru-baru ini, ada sebuah berita “16 Warga Sintang Jadi Tersangka Perusak Masjid Ahmadiyah.” Ditulis, polisi telah menetapkan 16 tersangka dalam kasus perusakan Masjid Ahmadiyah di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, beberapa waktu lalu. Namun dalang aksi perusakan tersebut masih buron. Kepolisian masih melakukan pendalaman dan mencari pihak-pihak yang diduga menjadi provokator ataupun otak dari aksi perusakan Masjid Ahmadiyah di Sintang. “Polda Kalbar sudah menetapkan 16 orang tersangka sampai dengan pagi hari ini. Perannya diduga sebagai pelaku perusakan,” kata Kabid Humas Polda Kalbar, Kombes Donny Charles Go saat dihubungi, Selasa (7 September 2021).

Donny menerangkan, saat kejadian, kepolisian berfokus untuk melakukan pengamanan dan melindungi warga setempat dari amukan massa. Sehingga, saat itu pihaknya tak menangkap massa yang bertindak anarkis. “Menghadapi pengunjuk rasa yang jumlahnya cukup banyak dan sudah emosi, tidak harus dengan tindakan tegas yang bisa berdampak terhadap kerugian yang lebih besar, soft approach pun menjadi langkah yang bijak,” jelas dia. Menurutnya, tindakan kepolisian selama di tempat kejadian perkara (TKP) sudah dilakukan berdasarkan pertimbangan yang matang dan terukur.

Sekretaris Pers dan Juru Bicara Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Yendra Budiana menyebut sebelum kejadian ada orang yang memprovokasi warga untuk merobohkan masjid Ahmadiyah. Provokasi itu disampaikan lewat khutbah Jumat di Masjid Al-Mujahidin. Lalu, setelah salat Jumat, apel digelar di depan masjid. Massa kemudian meneriakkan takbir dan bergerak menuju masjid Ahmadiyah. Massa sempat diadang aparat, namun akhirnya tak ada pencegahan. Massa pun lantas membakar bangunan yang berdiri di samping masjid. Namun, upaya massa untuk membakar masjid tak berhasil. Mereka pun akhirnya melakukan aksi perusakan.

Itulah kutipan berita media nasional yang membuat negeri ini kembali berduka, karena ada aksi intoleran di saat negeri kita berjuang melawan wabah Covid-19. Sebelumnya, di tahun-tahun lalu sudah ada aksi intoleran di HKBP Ciketing (2010), tragedi Ahmadiyah di Cikeusik (2011), GKI Yasmin Bogor dan HKBP Filadelfia Bekasi dan sejumlah gereja Katolik di kawasan Bekasi, Jawa Barat. Bahkan hingga saat ini aksi intoleransi kerap mewarnai pemberitaan di media massa, termasuk media sosial.

Dan aksi-aksi intoleran ini mempertontonkan kepada dunia bahwa di Indonesia masih ada anak bangsa yang antisosial, anti-HAM, antiagama dan antikemanusiaan. Karena sesungguhnya aksi intoleran adalah ciri insan yang tidak memahami cinta kasih.

Terkait dengan fenomena intoleran saat ini, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) pernah menilai bahwa sikap intoleran muncul akibat tidak terbiasa berpikir reflektif. Orang intoleran tidak memahami bahwa kemajemukan adalah kekayaan bangsa Indonesia. “Biasanya, orang yang wawasannya tidak luas dan tidak biasa berpikir reflektif, itu mudah terkena penyakit intoleran,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Kepala BPIP Prof Hariyono, di Jakarta, baru-baru ini. Hal tersebut disampaikannya saat Pembekalan Materi Pendidikan dan Pelatihan Pembinaan Ideologi Pancasila Bagi Penceramah, Pengajar, dan Pemerhati, di Hotel Borobudur, Jakarta. Menurut Hariyono, kelompok intoleran adalah mereka yang tidak menghargai atau respek dengan sesuatu yang berbeda dengan dirinya atau keyakinannya.

Untuk membangun kehidupan kebangsaan yang sehat, menurut Hariyono, perlu melihat kondisi riil bangsa Indonesia yang secara geografis pun berbeda, dari Aceh sampai Papua. “Kondisi flora dan fauna juga sudah berbeda, manusianya juga berbeda. Kalau ini, kita perlakukan sama, tidak bisa,” katanya. Artinya, kata Hariyono, orang yang intoleran sama saja bertentangan dengan sunnatullah yang sejak awal menakdirkan perbedaan karena dengan perbedaan itulah sebagai ajang saling belajar. Ia mengatakan, justru dari perbedaan itulah kita bisa respek bisa saling belajar dengan orang yang berbeda, kelompok yang berbeda dengan tim kita. “Itu dibutuhkan pendewasaan,” katanya (Republika.co.id).

Mencermati dan merefleksikan aksi anarkis atau intoleran dan jauh dari nilai-nilai Pancasila itu, kita sebagai sebuah bangsa yang besar dan majemuk ternyata masih diuji dalam memahami dan melihat Indonesia yang diikat dengan pilar persatuan bangsa, yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Padahal para Pendiri Bangsa ini yang terdiri dari berbagai suku dan agama sejak dulu sudah mengamanatkan supaya persatuan dan kesatuan bamgsa ini dirawat dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika atau berbeda-beda tetapi satu. Namun ketika di tengah bangsa ini masih ada kelompok yang memiliki jiwa culture crime (Budaya kekerasan), ini sesungguhnya sebuah pandangan yang mundur.

Di masa pandemi Covid-19 ini sejatinya kita sebagai anak bangsa bahu membahu, bergotong royong dan ikut membantu pemerintah dalam mengatasi pandemi corona ini. Kalau masih muncul aksi-aksi intoleran, seperti yang di Sintang, di saat kita berjuang untuk melawan pagebluk virus corona, sesungguhnya rasa nasionalisme dan kebangsaan kita masih patut diragukan. Sekarang yang dibutuhkan bangsa ini dari segenap anak bangsa adalah disiplin atau mentaati protokol kesehatan (Memakai masker, menjauhi kerukunan, rajin mencuci tangan dengan air mengalir dan menjaga imun agar sehat) serta mendukung vaksinasi yang kini gencar diadakan pemerintah.

Di masa sulit seperti saat ini, kita berharap dan meminta segenap anak bangsa supaya bisa ikut menjaga ketenteraman, kerukunan dan kedamaian. (Imannuel Saragih)

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here