KabarOIKOS.com-Kota Depok, termasuk salah satu wilayah yang banyak kita dijumpai bangunan bernilai historis, khususnya bergaya Eropa. Mulai dari kantor, rumah sakit, hingga tempat ibadah. Hal ini tidak lepas dari sejarah keberadaan kota yang terletak tepat di selatan Jakarta ini. Di akhir abad ke 17, di masa kekuasaan Hindia Belanda, Depok sempat menjadi wilayah banyak didiami oleh orang-orang Belanda.

Salah satu peninggalan sejarah yang masih bisa kita lihat sekarang ini adalah Gereja Immanuel, di Jalan Pemuda, Depok. Menurut  sejarahnya, masyarakat Depok  masa lalu yang beragama Kristen Protestan melakukan ibadah kebaktian mereka di  gereja yang terbuat dari kayu. Gereja berbahan kayu dan bambu tersebut didirikan oleh Cornelis Chastelein pada tahun 1700.  Gereja yang berbahan kayu dan bambu tersebut kemudian dipugar dan diganti dengan bangunan berbahan batu pada tahun 1792.

Awalnya, gereja tersebut bernama Gereja Protestan Depok. Kemudian berubah nama menjadi Gereja Immanuel setelah diserahkan kepada Gereja Protestan Indonesia di Jakarta, pada 7 Desember 1952.

Secara fisik, bangunan yang memiliki arah hadap utara ini telah mengalami banyak perubahan. Luas bangunan jelas telah berubah dengan adanya perluasan, meskipun denah bangunan yang berdiri di atas batur tinggi tetap sama, yaitu empat persegi panjang. Adapun ukuran bangunan gereja saat ini adalah 31,50 x 23,80 m. Lantai bangunan telah diganti dengan menggunakan baru, dari teraso berukuran 60 x 60 cm menjadi keramik putih berukuran 30 x 30 cm.

Perubahan yang terjadi bersamaan dengan perluasan bangunan terlihat pada jumlah maupun bentuk pintu dan jendela. Atapnya menggunakan bahan genteng baru, namun bentuknya tetap limasan. Bagian typanium menggunakan gable dengan lambang salib pada bagian tengahnya. Pada bagian atas terdapat menara kecil yang digunakan untuk menempatkan lonceng.

Pintu utama menggunakan dua daun berbahan kayu. Bentuk berupa pelengkung. Masuk melalui pintu utama akan didapati dinding yang difungsikan sebagai kelir, sehingga jemaat yang masuk tidak langsung dapat melihat dan berjalan lurus menuju ruang utama, tetapi harus melalui sisi kiri dan kanan dinding kelir. Dinding kelir merupakan hal yang biasa dalam bangunan-bangunan asli Indonesia masa lalu, terutama di Jawa.

Pada dinding kelir yang menghadap pintu utama terdapat inskripsi yang kemungkinan merupakan penulisan dari masa kemudian. Hal tersebut melihat pada ejaan dan gaya penulisannya, serta yang pasti di inskripsi tersebut terdapat tiga nama yang berbeda dari tahun yang berbeda pula, yaitu; C. Chalestein 1774, C. de Graaf dan W. E. van Charante berangka tahun 1892, dan yang terakhir berangka tahun 1952.

Ruang utama berdenah empat persegi panjang dengan mimbar kayu dan kelengkapan sakramen terdapat di sisi selatan ruangan. Ruang utama juga dipenuhi dengan jajaran bangku kayu bagi para jemaat yang mengikuti ibadah. Menurut keterangan nara sumber, mimbar berserta kelengkapan lainnya yang berada di podium gereja merupakan benda-benda lama yang belum diganti. Di bagian tepi ruang utama terdalam kolom-kolom yang dibuat dalam bentuk dinding dengan pintu-pintu terbuka (semu) berbentuk pelengkung.

Di sisi utara ruang utama terdapat balkon yang juga digunakan untuk ibadah para jemaat. Plafon ditutup dengan menggunakan bahan asbes. Pada bagian belakang bangunan gereja ditambahkan bangunan baru yang digunakan untuk keperluan pengurus gereja. Banyak perubahan telah terjadi pada bangunan gereja ini, meskipun tampak tidak terlalu terlihat, namunbila dilihat secara seksama perubahan ukuran terlihat jelas pada sisi timur bangunan.

Perubahan itu dapat dilihat dengan membandingkan foto lama dengan keadaan saat ini. Meskipun demikian, gereja ini tetap memiliki nilai sejarah bagi keberadaan komunitas Kristen Depok dan perkembangan kota Depok. (BS-dari berbagai sumber)

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here