Oleh: Arkhimandrit Romo Daniel Byantoro Ph.D.

Zaman Makkabeus dan Tiga Kelompok Keagamaan: Farisi, Saduki dan Eseni (lanjutan)

Pada masa pemaksaan ideologi Helenisme itu, kaum Yahudi yang memperjuangkan identitas mereka menekankan pada hukum Taurat. Sebagai akibatnya, mereka tidak mendukung adanya kritik terhadap hukum Taurat dan Bait Allah, sehingga kritik kenabian “tidak bisa lagi bebas berkembang dalam Yudaisme”; dan baik sikap Yesus maupun Rasul Paulus terhadap hukum Taurat dianggap tidak bisa “ditoleransi.”[Martin Hengel, Judaism and Hellenism: Studies in Their Encounter In Palestine During the Early Hellenistic Period (Eugene, OR: Wipf & Stock Publisher, 2003), hal. 308.]

Perjanjian Baru mengindikasikan bahwa kaum Farisi dan Saduki kadang bereaksi dengan kekerasan terhadap para pemimpin Kristen karena sikap mereka terhadap hukum Taurat dan Bait Allah. Memang ada orang-orang Yahudi saleh yang tidak bisa dibatasi dengan ketaatan hukum kelompok-kelompok ini, dan mereka akan berbicara sesuai dengan yang disampaikan Yesus dan Paulus.[Ibid., hal. 77.]

Menjelang tahun 63 SM, Romawi menaklukkan Palestina. Perjuangan terkait suksesi Imam Agung membawa perpecahan dalam dinasti penguasa di Yerusalem. Kaum Farisi, Saduki, dan lainnya mengambil peran aktif dalam perjuangan dinasti ini dan meminta orang Roma untuk membantu mereka menyelesaikan masalah suksesi ini.

Pompey menanggapi hal ini, menengahi pertikaian untuk menghentikan kekuasaan Hasmonean (Makkabeus).[“Hasmonean” berasal dari kata Hasmon, nama keluarga Mattahias, yang anaknya yang bernama Yudas (166-60 SM) mengambil nama “Makkabeus” sebagai nama belakangnya. Lihat Kitab Makkabe.] Kaum Farisi meskipun sebagai kelompok sukarang sudah tidak ada lagi namun mereka inilah melalui  pengajaran-pengajaran  para Rabbi mereka, yang kemudian terkumpul dalam Kitab Talmud, Kitab penting kedua sesudah Perjanjian Lama, yang menjadi cikal-bakal dari tradisi Rabbinik dari Yudaisme/Agama Yahudi zaman modern sekarang ini.

Sedangkan kaum Saduki itu juga sebagai kelompok sudah tidak ada lagi, karena mereka adalah kelompok kaum imam yang terkait dengan Bait Allah dan ibadah serta korban-korban disana, dimana korban-korban itu tidak boleh dilakukan di luar Bait Allah. Dengan musnahnya Bait Allah, digempur oleh Jendral Titus pada tahun 70 Masehi, lenyap pula eksistensi mereka.

Pompey memasuki Bait Allah tanpa merusak atau pun mengambil benda-benda berharga di dalamnya dan terkejut menemukan bahwa Bait Allah tersebut tidak memiliki gambar apa pun. Dia mengizinkan kaum Yahudi untuk melanjutkan pengorbanan di Bait Allah dan juga bentuk-bentuk ibadah lainnya. Sejak masa penaklukan, Palestina, baik wilayah Timur maupun wilayah Barat, tetap berada di bawah dominasi penguasa Romawi selama kurang lebih tujuh abad.

Herodes Agung Menjadi Raja Yudea
Setelah penaklukan Palestina, orang Romawi mendukung tuntutan Herodes, seorang sahabat bagi masyarakat Roma, untuk menjadi raja Yudea. Herodes berasal dari Idumea, yaitu bangsa Edom, keturunan Esau saudara kembar Yakub dalam Alkitab, dan berhubungan dekat dengan pemerintah Romawi, yang dia dukung seutuhnya. Jadi Herodes bukanlah seorang Yahudi. Dia memandang orang Romawi sebagai pemenang dan berpihak pada mereka. Memang dia salah saat memberikan dukungannya pada Markus Anthonius melawan Augustus, tetapi dengan cepat mendukungnya. Masyarakat Romawi menghadiahi Herodes untuk kesetian yang telah diberikannya pada mereka.

Dia menjadi raja untuk bangsa Yahudi dari tahun 37 – 4 SM dengan sebutan sebagai Herodes Agung. Untuk menghormati Augustus, dia membangun kembali kota kuno Samaria menjadi kota dengan ciri khas Helenisme dan menamainya Sebaste (bahasa Yunani untuk Augustus). Sebagai orang di bawah pengaruh Helenisme dan seorang tirani, Herodes menanamkan perdamaian pada warganya. Sejumlah warganya terlibat dalam perdagangan dan menikmati kemakmuran, tetapi banyak dari mereka yang mengingat Herodes yang membunuh istrinya dan juga orang lain.

Kisah kelahiran Kristus pada Injil Matius mencerminkan kekejaman Herodes
Karena dibenci kaum Yahudi, Herodes berusaha mendapatkan kepercayaan dan kesetiaan mereka dengan membangun kembali Bait Allah mereka. Pengerjaannya dimulai pada tahun 20 SM dan selesai lama setelah meninggalnya Herodes itu, sebelum Bait Allah baru itu dimusnahkan oleh orang-orang Romawi pada tahun 70 M.[ Untuk persiapan yang dia buat untuk Bait Allah baru tersebut, lihat Veselin and Lidya Kesich, Treasures of the Holy Land (Crestwood, NY: St Vladimir’s Seminary Press, 1985), hal. 53-54.] Kemegahan Bait Allah Herodes kita kenal dari penggalian-penggalian arkeologis.

Bait Allah ini adalah Bait Allah yang dikenal Yesus, dan murid-murid Yesus yang paling awal berkunjung ke Bait Allah ini untuk berdoa. Karena Herodes bukanlah seorang Yahudi melainkan orang Idumea, sebuah suku yang dipaksa berpindah kepercayaan menjadi penganut Yudaisme oleh kaum Hasmonean; dengan cara paling agresif yang digunakan keluarga Makkabeus untuk memasukkan ke Agama Yahudi masyarakat di wilayah taklukan semasa perang pembebasan itu, membuahkan ketidakpercayaan masyarakat.

Kematian penguasa yang kuat sering diikuti oleh perselisihan di antara pengikutnya, yang bertikai untuk menjadi penggantinya. Setelah kematian Herodes orang-orang Romawi harus menengahi untuk mendamaikan tiga orang anak lelaki Herodes yang bertikai dengan membagi kerajaan yang telah dibangunnya  menjadi tiga bagian, tetapi tidak menganugerahkan gelar raja bagi ketiganya. Herodes Archelaus (4 SM – 6 M, disebutkan di Injil Mateus 2:22) menjadi pemimpin di Yudea, Samaria, dan Idumea. Dia adalah penguasa yang kasar dan tidak berkompeten yang disingkirkan Roma dengan menunjuk seorang prokurator atau gubernur di wilayahnya.

Salah satu dari gubernur ini adalah Pontius Pilatus (26-37 M). Herodes Antipas, yang namanya sering disebut di Injil, menjadi pemimpin di Gelilea dan Perea (4 SM-39M), yang luasnya sekitar seperempat wilayah kekuasaan asli Herodes. Yesus menyebutnya sebagai “serigala itu” (Lukas 13: 31-32). Menurut Lukas, dia terlibat dalam pengadilan Yesus (Lukas 23: 6-16; Kisah Para Rasul 4: 27). Untuk menghormati kaisar Roma, Tiberius (14-37 M), Antipas menamakan ibukota wilayahnya Tiberias.

Sisa wilayah kerajaan Herodes, sampai ke arah timur dan utara Laut Galilea, dipercayakan pada Philipus (4 SM – 33/34 M). Dia membangun kembali kota tua Yunani bernama Paneas dan menamainya Kaesarea Philippi untuk menghormati Kaisar Romawi. Tempat itu adalah tempat pengakuan Petrus (Markus: 8:27-33 dan paralel). Dunia di mana Yesus dilahirkan dan melakukan pelayanan umumnya muncul dari perjuangan bangsa Yahudi melawan Hellenisasi, pecahnya kesatuan agama, dan kemunculan kelompok-kelompok dalam Yudaisme, termasuk penaklukan Palestina oleh Romawi.

Keempat Injil
Pengetahuan kita tentang kekhasan pelayanan Yesus ditemukan dalam cerita di keempat Injil, yang merupakan sumber utama kita tentang apa yang dikatakan dan dilakukan Yesus. Begitu tergantungnya pada Injil tersebut sehingga tidak mengherankan jika Injil telah menjadi sasaran penelitian kesusastraan dan sejarah selama dua ratus tahun terakhir. Ditulis antara tahun 65-95 M, setelah kotbah dan pengajaran Rasuliah, dokumen-dokumen tentang berdirinya agama Kristen menarik diadakannya penelitian sejarah.

Dari keempat Injil, kebanyakan ahli di zaman modern ini setuju bahwa Injil Markus adalah yang paling awal ditulis, Injil Yohanes adalah yang paling akhir ditulis, dan Matius dan Lukas menggunakan tulisan Markus sebagai sumber utama mereka. Untuk kesamaan kisah dan isi yang dimiliki Matius dan Lukas yang tidak ditemukan di tulisan Markus, beberapa ilmuwan menganggapnya sebagai sebuah sumber hipotesis Q (Quelle, bahasa Jerman untuk “sumber”); jadi, Matius dan Lukas berisi sejumlah tradisi mereka sendiri. Ketiga Injil kanonik pertama dikenal sebagai “Injil Sinoptik.” Naskahnya bisa terlihat selaras ketika disusun dalam kolom paralel.

Sementara mayoritas ilmuwan menyetujui teori yang berasal dari kedua sumber ini, sejumlah ilmuwan lain mencoba beberapa pendekatan baru pada premis Injil sinoptik ini. Mereka menolak pandangan bahwa formasi Injil hanyalah masalah kesusastraan. Injil tumbuh dengan menggabungkan tradisi-tradisi lisan dan tulisan.[ Lihat Veselin Kesich, The Gospel Image of Christ (edisi kedua; Crestwood, NY: St Vladimir Seminary Press, 1991), hal. 93.]

Bahkan jika penanggalan awal yang ada dalam Injil diterima, para ilmuwan modern berusaha menentukan ujaran mana tentang Yesus yang dikategorikan asli dan mana yang dibuat setelahnya. Kebanyakan ilmuwan menerima dua metode penafsiran. Di satu sisi, sebagian ilmuwan menerima sebuah ujaran sebagai hal yang asli jika ditemukan di beberapa lapis tradisi injil. Di sisi lain, ilmuwan modern lainnya bersikeras bahwa untuk disebut asli, ujaran yang dianggap berasal dari Yesus harus berbeda “ dengan penekanan dari Yudaisme kuno dan gereja awal.”[ Norman Perrin, Rediscovering the Teaching of Jesus (New York: Harper Collins, 1967), hal. 39.] Pendekatan yang kedua ini dikenal sebagai “kriteria perbedaan ganda.” Jika diterapkan tanpa dilengkapi kriteria lain, perbedaan ini akan memisahkan Yesus dari lingkungannya dan mengasingkan dia dari para pengikut yang menjadi saksinya. Hal ini “menghilangkan penjelmaan” Yesus dan menawarkan pandangan terbatas berkenaan dengan keaslian ajarannya.

Ilmuwan yang sangat mengandalkan kriteria perbedaan ganda ini menerima sangat sedikit ujaran Yesus yang dianggap asli.  Namun untuk tujuan kita dalam memahami tentang Yesus Kristus itu, kita menerima Injil itu sebagaimana adanya sekarang, sebagaimana yang selama ini telah telah diterima keabsahannya oleh Gereja sepanjang segala abad. (bersambung)

Penulis adalah Ketua Umum dan Pendiri Gereja Orthodox Indonesia

 

Catatan: Materi ini bisa juga Anda ikuti di channel youtube Rm. Daniel Byantoro.

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here