Oleh: Arkhimandrit Romo Daniel Byantoro Ph.D.

Landasan dan fondasi Kekristenan, baik dalam “Isi Pengajarannya” maupun dalam perjalanannya mengarungi waktu, yaitu “Sejarahnya”, adalah Pribadi, Karya dan Peristiwa Yesus Kristus. Sebagaimana yang disaksikan oleh Kitab Suci demikian:Karena tidak ada seorang pun yang dapat meletakkan dasar lain dari pada dasar yang telah diletakkan, yaitu Yesus Kristus.” (IKorintus 3:11).Karena itu kita tak bisa memahami Iman Kristen, yaitu Ajaran mengenai Yesus Kristus sebagai Penyataan Diri Allah bagi keselamatan manusia itu secara benar, tanpa mengerti konteks sejarah ini dari mula-mulanya.

Yesus dari Nazareth: Sang Pendiri
Yesus yang disebut Kristus (Ha-Massiakh/Orang Yang Diurapi), adalah seorang pria Yahudi yang mati disalib, dibawah pemerintahan Pontius Pilatus, Gubernur Roma, pada kira-kira bulan April tahun 33 Masehi, memasang gelar: “Yesus dari Nazareth, Raja Yahudi” dalam bahasa “Ibrani, Latin, dan Yunani” (Yohanes: 19: 19f) diatas kepala pada Kayu PenyalibanNya itu, sebagaiyang dianggap  pernyataan  bentuk kejahatan yang dilakukannya yang untuknya Dia mati dihukum itu.. Ketiga bahasa tersebut menunjukkan ketiga dunia yang berbeda dan bersilangan di mana Yesus hidup dan menjalankan misinya.

Kekaisaran Babilonia, Kekaisaran Persia dan Hellenisme
Untuk itu kita harus mengerti konteks dan latar-belakang wilayah dimana Yesus Kristus itu datang dan berkarya. Selama berabad-abad, bangsa Yahudi hidup dalam dominasi asing, yang sering brutal. Pada tahun 538 SM orang-orang Persia di bawah Cyrus (Koresh), pendiri kekaisaran Peria, mengakhiri pembuangan  orang-orang Yahudi sebagai tawanan oleh bangsa Babilonia dan mengembalikan mereka ke Yerusalem. Menjelang akhir tahun 538 SM mereka dapat membangun kembali Bait Suci mereka, yang telah dihancurkan oleh orang-orang Babilonia tersebut.

Kemudian Alexander Agung (333 – 323 SM) dari Makedonia,Yunani Utara,  mengakhiri kekuasaan Persia di sana, menggantikannya dengan dominasi Yunani. Alexander dan para penggantinya memaksakan Hellenisasi (cara-cara hidup dan budaya Yunani) di Palestina. Setelah kematian sang penakluk, Alexander Agung itu,  dengan terjadinya perang suksesi kekuasaan, sekitar tahun 200 SM, Palestina pada akhirnya tunduk pada kekuasaan kaum Seleucid, para pengganti jenderal Alexandria yang bernama Seleucus.

Mereka mengarahkan Palestina dengan lebih keras lagi untuk mengikuti cara-cara hidup, pemikiran, serta budaya dan bahasa Yunani, yaitu Helenisme.. Sejumlah keluarga aristokrat rawan menghadapi tekanan kaum Seleucid, tetapi kebanyakan kaum Yahudi menolak. Perselisihan antara orang Yahudi yang alim dan agen Helenisme semakin sering terjadi di bawah pemerintahan Antiokhus IV (175-164 SM) ketika dia menambahkan gelar “Epiphanes” (“Manifestasi Dewa”. yaitu“perwujudan dewa Zeus”] pada namanya. Meskipun karena kebrutalannya orang Yahudi menyebut dia dalam kebencian mereka dengan sebutan “Epimanes” (“Si Orang Gila”).

Dengan mencoba membawa berbagai jenis bangsa yang berbeda di bawah kekaisarannya di bawah perlindungan dewa Zeus, dia secara langsung menentang praktik kaum Yahudi. Dia bahkan melarang perayaan hari Sabbat dan sunat dan mendirikan altar untuk Zeus di Bait Allah. Orang Yahudi diperintahkan untuk mempersembahkan korban pada dewa-dewa Yunani. Antiokhus menunjuk sejumlah inspektur untuk memaksakan perintahnya pada tahun 167 SM.

Zaman Makkabeus dan Tiga Kelompok Keagamaan: Farisi, Saduki dan Eseni
Perselisihan segera mencuat. Judas Maccabeus (nama ini mungkin berarti “si palu/ si godam”) memimpin sebuah pemberontakan yang berhasil. Raja Antiokhus V, pengganti Antiochus IV, mengembalikan kebebasan dijalankannya ibadah agama Yahudi dan mengizinkan orang Yahudi untuk mengikuti praktik-praktik sesuai Taurat.

Bangsa Yahudi memperjuangkan identitas mereka dalam dunia Hellenisme dan mereka memenangkannya. Untuk menjaga pencapaian ini, mereka mulai membangun “pagar” di sekeliling Taurat. Namun demikian, persatuan bangsa Yahudi yang disatukan oleh perang yang penuh kemenangan segera terpecah setelah kemenangan itu diraih. Tiga kelompok agama berkembang dari agama Hasidim, “sang alim” dari masa Makkabeus: Eseni, Saduki, dan Farisi. Ambisi politik dan agama keluarga Makkabeus membangkitkan perpecahan di antara kaum Yahudi. Yonatan, seorang anggota keluarga Maccabeus, ditunjuk sebagai imam agung  (152-143 M) oleh pengganti Antiokhus IV yang berdarah Syiria dan penganut Helenisme; tetapi dia bukan dari keluarga imam agung Zadok, dan orang Yahudi tradisional menolaknya.

Sebagai protes terhadap meningkatnya keluarga Makkabeus ke kelas imam agung, beberapa orang Yahudi di bawah kepemimpinan seorang imam Zadok, yang kita kenal dari Naskah Laut Mati (Dead Sea Scrolls) sebagai Guru Kebenaran, menarik diri ke hutan belantara dan mendirikan sekte mereka sendiri (mungkin sekte Eseni). Mereka menetap di Qumran dan menghasilkan Naskah Laut Mati, dan menyebut diri mereka putra Zadok. Sebagian dari mereka menyebar ke sebuah tempat di Yerusalem, tempat Yesus mungkin sempat bertemu dengan mereka. Meskipun tidak ada rujukan langsung tentang keberadaan mereka dalam Injil, materi dalam perumpamaan-perumpamaan Yesus menunjukkan bahwa dia menyadari kehadiran ajaran mereka.

Tak lama setelah itu, pihak-pihak dari kaum Farisi dan Saduki muncul. Kaum Farisi (dari kata”perushim” yaitu “mereka yang memisahkan diri”), seperti Orang Eseni, merupakan turunan dari pendukung Makkabeus tetapi tidak bisa mentoleransi penggunaan agama sebagai alat “yang digunakan untuk membuat seluruh penduduk setia pada Yerusalem, di mana pada saat yang sama penguasanya menjabat sebagai imam agung.” Karena tetap berada di Yerusalem, kaum Farisi menentang kebijakan-kebijakan keagamaan yang dikeluarkan keluarga Makkabeus. Akhirnya bertikai dengan keluarga penguasa dan mengalami penganiayaan kejam oleh Alexander Janneus (104-76 SM). Sekitar delapan ratus orang disalib. Ketika kaum Farisi memperoleh kembali pengaruh mereka setelah meninggalnya Alexander Janneus, mereka bereaksi melawan kaum Saduki, yang merupakan penasihat almarhum raja, membalas dendam kepada mereka dengan prinsip “gigi ganti gigi dan mata ganti mata”.

Kaum Saduki (kaum “Zadok”) pertama kali disebut pada abad pertama Sebelum Masehi, ketika kaum Farisi muncul sebagai sebuah kelompok. Tidak seperti kaum Farisi, kaum Saduki berasal dari kelompok keluarga kaya, yang mendapatkan banyak laba dari hasil jual beli tanah. Minat keberagamaannya adalah Bait Allah dan pemujaannya. Mereka menerima lima kitab pertama Musa dan menafsirkannya secara harafiah. Mereka menganggap bahwa para nabi adalah pengganggu kedamaian. Ketika raja merangkap tugas sebagai imam, kaum Saduki tidak keberatan dan beberapa dari mereka bertugas sebagai Imam di Bait Allah.

Ketiga kelompok ini, yang muncul pada abad kedua Sebelum Masehi, memiliki satu kesamaan: semaunya disibukkan oleh hukum Taurat dan kewajibannya. Orang Eseni terpecah dari Yerusalem, memprotes bahwa hukum Taurat tidak secara penuh ditaati di sana. Pemimpin mereka, sang Guru Kebenaran, adalah ahli tafsir Kitab, terutama hukumnya. Seperti dijelaskan oleh Josephus, seorang ahli sejarah abad pertama, kaum Farisi dianggap sebagai “ahli tafsir hukum paling akurat”. Mereka mencoba untuk memperluas ketaatan pada hukum Taurat tentang kemurnian ritual di luar Bait Allah pada seluruh aspek kehidupan.

Harapan mereka tentang Mesias tidak bisa dipisahkan dari pemenuhan hukum Taurat. Sebaliknya, kaum Saduki tidak percaya pada Mesias dan bersikap kaku dalam sikap harafiahnya terhadap hukum Taurat. Yesus menyerang sikap kaku ini dan menuduh bahwa kaum Saduki tidak tahu-menahu tentang Alkitab maupun kekuatan Tuhan (Matius 22:23-33 dan yang sejajar.)

– bersambung –

 

Bogor, 7 Mei 2021
Penulis, Pendiri dan Ketua Umum Gereja Orthodox Indonesia, Wakil Hirarki untuk Indonesia.

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here